Gunung Ungaran, Dimana Semuanya Bermula

Sebuah moment kebersamaan yang menawarkan jutaan kesenangan, indahnya berbagi, saling peduli namun menyakitkan di akhir. Itulah yang akan didapatkan oleh seorang pendaki amatir. Pendakian gunung yang memiliki arti, pesan, dan daya tarik sendiri bagi para penikmatnya.

Sempat bingung di awal dengan orang-orang yang memiliki hobi mendaki gunung. Padahal jika dipikir-pikir apa yang mereka lakukan itu sebenarnya percuma dan meaningless. Bagaimana nggak? Mereka itu rela jalan berjam-jam mendaki berkilo-kilo meter jauhnya dengan medan yang naudzubillah agar bisa sampai ke puncak paling tinggi. Setelah sampai di puncak yang mereka lakukan adalah masak, makan, tidur sebentar, foto-foto, lalu turun lagi dengan sisa tenaga yang ada.

Tuh kan! Percuma. Sudah capek naik ke puncak mati-matian lalu turun lagi. -_- Percuma.

Jujur. Pendapat seperti itulah yang saya pikirkan ke manusia-manusia yang hobi berkunjung ke gunung.

But,, in fact the condition, the situation, and the experience that mountain gave is very different.

Awalnya pikiran memang seperti itu. Hingga pada akhirnya saya iseng-iseng mencoba untuk ikut naik gunung. Pilihan pertama saya jatuh pada Gn. Ungaran yang terletak di Kabupaten Semarang. Sebenarnya bukan pilihan saya. Melainkan hanya ikut gabung dengan teman-teman sewaktu kuliah.

Awalnya memang ragu untuk ikut naik ke gunung. Namun, melihat hiruk pikuk persiapan, dan betapa sumringahnya wajah kawan-kawan. Akhirnya saya tertarik untuk bergabung dengan mereka. Bukan hanya itu, sebenarnya saya juga khawatir jika keberadaan saya hanya akan menjadi beban bagi mereka. Namun saya masih teringat dengan ucapan kawan saya yang cukup membuat sang hati mantap. Beliau mengatakan bahwa “di gunung itu tidak ada yang ditinggalkan atau meninggalkan. Semua berjuang demi tujuan bersama”.

Kata-kata itulah yang membuat si hati begitu mantap.

Tersihir akan kata-kata yang teman saya lontarkan. Akhirnya kami berangkat menuju Gn. Ungaran yang memiliki tinggi kurang lebih 2050 meter di atas permukaan laut. Kami mulai mendaki pukul 9 malam. Udara dingin memang sudah terasa menusuk tulang. Tapi tak terlihat satupun wajah teman saya yang mengeluh akan hal itu. So i have to pretend that the weather was fine.

Di pos pertama kami siap-siap perlengkapan, cek barang, tukar-tukar tas, buang air kecil, dan berdoa bersama. Pada saat cek barang saya merasa malu sekali. Karena barang bawaan saya yang super ribet bahkan melebihi kaum hawa.

Bayangkan? Saya membawa handuk, baju ganti, sabun, sampo, dan segala perlengkapan lainnya, belum termasuk snack, dan air mineral 2 botol ukuran 1,5 liter. -_- sepintas teman-teman saya yang mengetahui hal itu langsung tertawa terbahak-bahak melihat barang bawaan saya. Bahkan grup tetangga pun juga ikut tertawa. #malunya!!!

“Maklum namanya juga pendaki amatir, yang di bayangan saya kan di puncak ada MCK buat bersih-bersih” balasku ke mereka dengan polos.

“lahh sekalian wae di puncak ono indomaret ambe angkringan” samber Dani asal.

Akhirnya barang bawaan saya disebar ke segala tas agar tidak terlalu berat. Dari sini saya mulai merasakan apa arti dari kepedulian terhadap seorang kawan. Kami yang berjumlah 22 orang (kaya mau pawai) dengan anggota 27 pria dan 4 orang wanita berbaris melingkar untuk berdoa dan berjanji bersama “jangan egois, yang capek jangan malu buat bilang, satu berhenti semua berhenti” itulah janji yang kami buat.

Tak lupa pula yel-yel untuk menambah semangat dilontarkan ke atmosfer kaki gunung ungaran. Teknik Kimia, Yes We Can...

Mulailah perjalanan kami menempuh terjalnya jalanan dan kerasnya hidup demi mencapainya puncak Gn. Ungaran yang katanya membutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan. Iyah 5 jam!!

Membayangkan 5 jam mendaki sudah membuat saya berpikir kapan dan bagaimana turunnya. Bagi pemula seperti saya, apalagi ditambah dengan kondisi badan yang jarang sekali berolahraga. Urusan mendaki sudah lebih dari sekedar tantangan. Jangankan urusan mendaki. Jalan saja terkadang sudah cukup membuat saya terpogah-pogah.

Dan benar saja! Baru saja jalan sekitar 15 menit. Nafas sudah seperti orang bengek. Kaki sudah seperti digeret. Sudah mana jalanan gelap, dan posisi ku di urutan ketiga dari belakang.

Penerangan kami hanya dibantu oleh senter dan cahaya bulan. Jalan menyusuri hutan pinus dan jalan setapak yang dilengkapi dengan batuan. Dinginnya udara dan aroma getah pinus menjadi penghibur kami di perjalanan awal menuju pos selanjutnya.

Memang tak banyak yang bisa kami lihat karena penerangan yang hanya sebatas senter. Namun dari sana, saya bisa melihat indahnya lampu perkotaan Kota Semarang dan Kabupaten Semarang serta merdunya suara gesekan pohon akibat angin dan suara nyaring serangga.

Gn. Ungaran terbagi menjadi 4 Pos persinggahan. Jangan anda bayangkan Pos itu berisi warung yang menjual Pop Mie atau minuman hangat yah. Karena Pos disini hanya sebuah spot berbentuk lapangan luas yang dimaksudkan sebagai tempat berteduh pada saat hujan atau untuk istirahat.

Pos pertama yaitu tempat parkiran sekaligus tempat melapor, Pos 2 seingat saya yaitu tempat yang ada aliran air yang biasa digunakan para pendaki untuk mengisi ulang air persediaan. Sedangkan Pos 3 yaitu pos di kebun teh warga. Sedangkan Pos 4 yaitu puncak gn. Ungaran itu sendiri.

Jalanan dari Pos 1 hingga pos 3 memang tidak terlalu menantang bagi kalian yang sudah terbiasa dengan kegiatan mendaki. Tapi tidak bagi kami eh maksudnya saya dan beberapa teman saya. Jalanan dari Pos 1 ke Pos 3 sudah lebih dari cukup membuat kita kelelahan. Bisa dibuktikan dengan 2 jam perjalanan yang dibutuhkan untuk sampai ke Pos 3 jadi ngaret hingga 3,5 jam perjalanan. Jam 9 malam kami mulai mendaki, jam setengah 1 lebih dini hari kami baru tiba di Pos 3.

Sebenarnya kami yang berjumlah 22 hanya terbebani oleh keberadaan 4 orang saja. Hahah. Yah, keberadaan 4 orang itu termasuk saya yang membuat semuanya terasa lambat. Maaf yah!! Sungguh setia sekali mereka bukan? Rela mengambil waktu break untuk kami berempat.

Sekitar jarak 150 meter lagi ke Pos 3, disana ada tampungan air besar yang bisa digunakan sebagai isi ulang air untuk kegiatan memasak dan minum pada saat di puncak nanti. Demi menjaganya ketersediaan air tidak lupa kami mengisi air disana sebanyak-banyaknya.

Menempuh perjalanan menuju Pos 3, kita akan ditawarkan keindahan kebun teh warga disana. Posisinya yang cukup tinggi membuat saya tersadar betapa susahnya warga yang hendak mencari sesuap nasi karena harus menempuh perjalanan sejauh ini. #tear

Waktu semakin larut. Sudah banyak grup yang mampu melewati kita karena perjalanan yang lama ini. Agar dapat pasang tenda dan klaim tempat. Akhirnya grup kami di bagi menjadi 3. 3 orang yang biasa muncak didepan untuk mendirikan tenda. Grup kedua berisi orang yang memiliki tenaga sedang-sedang. Sedangkan, saya, isna, fauzi, agus, mukti, eka, dan ismoyo masuk ke grup 3. Saya, isna, eka, dan mukti adalah 4 orang yang dimaksud itu. Haha

Fauzi, agus, dan ismoyo adalah orang yang harus merelakan perjalanan serta tenaganya untuk membantu kami.

Perjalanan dari Pos 3 menuju puncak dipenuhi dengan tanjakan terjal dan batuan super besar. Dengan kabut dan udara dingin yang menusuk tulang.

Karena mukti dan isna yang tenaganya tidak lebih dari saya dan eka. Tak terasa mereka berdua tertinggal cukup jauh bersama dengan fauzi dan agus. Saya, eka dan ismoyo bertiga melanjutkan perjalanan menempuh kerasnya hidup. Huahaha

Batu demi batu besar terlewati, uluran tangan yang tak ada habisnya, serta udara yang semakin dingin menjadi saksi bisu usaha kami.

“aaaaahhhh,, sudah lah saya nyerah, saya mau turun aja, enggak kuat” spontan Eka merengek.

“Hahhh?? Mau turun ka? Ini sebentar lagi nyampe puncak kok ka!” ismoyo menyemangati.

Kawanku dari kawasan timur Indonesia rupanya sudah mulai menyerah. Yah nggak munafik juga sebenarnya saya pun demikian. Namun tetap saya tutupi karena penasaran dengan puncak Gn. Ungaran.

Sudah jalan lebih dari 4 jam. Puncak sepertinya belum juga kelihatan. Capek, pegal, sakit kaki rasanya sudah tak bisa dibendung lagi. Kami bertiga harus istirahat beberapa kali setiap melewati batu besar. Kasihan saya melihat Eka yang raut wajahnya sudah tak lagi menampilkan senyumnya yang manis.

Di setiap duduk, saya menoleh kebawah dan heran. Tak pernah terbayang sebelumnya bisa terlibat dalam aksi panjat gunung seperti ini. Mungkin ini menjadi dataran tertinggi pertama yang pernah saya injak hanya dengan jalan kaki.

Udara dingin dengan angin kencang mulai menerpa kami. Pohon-pohon yang tadinya menjadi teman kami sudah jarang. Hanya ada batuan besar yang siap dipanjat dan rumput-rumput.

“Sabar Eka 5 menit lagi sampai” Ismoyo kembali menyemangati Eka yang mukanya sudah ditekuk macam kertas recek.

“Dari tadi 5 menit mulu tapi enggak sampai-sampai” Gerutu Eka sambil mewek.

Melihat Eka seperti itu, akhirnya kami istirahat kembali di sebuah batu besar. Dan kali ini istirahat kami lebih lama durasinya. Saya melihat Eka dan Ismoyo duduk dengan muka yang disandarkan ke paha mereka. Saya tahu Eka lelah, mungkin lelahnya melebihi saya. Tapi untuk Ismoyo mungkin dia lelah menunggu kami yang hobinya istirahat. Hehe

Sunyi hening, dengan kabut yang tebal, udara dingin, dan angin kencang menambah syahdu momen istirahat kami.

Tak disangka waktu istirahat hampir 15 menit. Dari bawah terdengar suara sayup-sayup yang tak asing lagi di telinga. Saya menoleh kebawah dan melihat rupa-rupanya mereka adalah kawanan Isna, dkk.

Mereka berhasil menyusul kami. Eka pun terbangun. Dan kami menyelesaikan istirahat untuk jalan ke puncak bersama-sama. Puncak yang katanya sebentar lagi ternyata tak sebentar itu. Perlu waktu setengah jam bagi kami berjalan agar sampai puncak. Kata-kata semangat selalu terlontar untuk kami berempat.

Teriakan-teriakan keberhasilan mulai memenuhi daun telinga kami. Disana ada banyak grup yang sudah mendirikan tenda masing-masing. Kami pun melihat kawan-kawan yang telah sampai duluan menunggu kami di atas sana.

“Ayyooo semangat sebentar lagi sampai teman-teman” teriak ke-15 teman kami memberikan semangat kepada kelompok terakhir.

Saya berlari menuju mereka dan berteriak. “Akhirnyaaa!!!UHHHHH”

Sungguh berat dan melelahkan perjalanan ini. Tetapi tetap pengalaman yang diberikan lebih dari sepadan apa yang dikorbankan. Kami mengerti, kami menghargai, kami menyayangi. Kuasa Tuhan memang tak ada duanya.

Bangga, dan sedih campur aduk jadi satu. Memang Gn. Ungaran tidak setinggi seperti gnung sumbing ataupun maha gunung lainnya. Akan tetapi gunung inilah yang menjadi awal bagi saya untuk tidak meremehkan keinginan dan passion seseorang. Gunung ini juga yang membuat semuanya terasa dekat, baik ikatan antara manusia dengan manusia dan ikatan antara manusia dengan alam. Sungguh besar Wahai Engkau Allah Pencipta Alam. Terimakasih atas kesempatan yang mampu merubah arah pandangku. Gn. Ungaran 2050 meter, 8/11/2014.

Gunung inilah yang membuat saya selalu rindu dengan momen-momen serta indahnya alam.

Please Like Our Page on Facebook. Thank You
Spoiler 

Di gunung tetap andalannya adalah Mie Instan

Saya di Puncak

Isna Paling Depan Mukanya Cemberut

Kasihannn,,, Puk-puk
Kami, ada 1 lagi yang foto. Total 22 orang
Sibayukun
Sibayukun Pria mochi yang suka bergalau, suka ngemil, suka ngedekem di kamar, suka ngegambar, suka melamun, dan kadang cheesy. Hahahah

2 komentar untuk "Gunung Ungaran, Dimana Semuanya Bermula"

Comment Author Avatar
Kebanyakan pendaki mempunyai solidaritas yang tinggi gan, reserved kalau main ke unggaran... hehehe
Comment Author Avatar
iyahh, ahh gunung emank tempat rekreasi yang nggak ada duanya gan. bikin kangen.. tpi giliran nnti muncak lagi pasti menggerutu. hahah

Yukk.. Ngobrol!! Biar makin kenal😂