Tangkal Hoax, Beginilah Seharusnya Kita Berpikir
Daftar Isi
Jujur gue nggak suka kalau sampai adu bacot apalagi sampai purikan hanya cuma karena gara-gara kita beda keyakinan atau kita beda pendapat tentang apa yang kita lihat belakangan ini.
Iyah kita tahu bahwa Rumah Bumi tercinta Kita Indonesia ini sedang mengalami tensi super tinggi yang banyak sekali melenggang mulai dari informasi-informasi di media sosial atau TV.
Terutama di medsos, yang akhir-akhir banyak sekali informasi yang bernilai menyudutkan, menghakimi, mengdiskreditkan, hingga mengtuding ke sesama.
Sebelnya lagi, itu dilakukan secara terang-terangan oleh beberapa kaum elit. Yang kalau dilihat dari umur, mereka udah tua, udah berpengalaman, lebih pintar pastinya tapi kenapa ujaran kebencian atau pendapat yang seperti itu dilontarkan begitu saja tanpa memikirkan perasaan orang lain yang mendengarnya.
Seperti sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan wajar.
Contoh, pasca pemilu 2019 yang mengakibatkan tragedi 21 Mei 2019 terjadi. Jujur gue sedih jika melihat kita yang sama-sama satu warga negara, sama-sama satu suku dan serumpun harus saling serang demi membela keyakinan masing-masing.
Padahal negara ini masih butuh kepedulian kita sebagai warganya yang tinggal di dalamnya, berlindung disana. Ibarat negara adalah orang tua, dan kita sebagai anaknya. Seberapa sedihnya coba kalau Ia melihat kita yang selalu ribut bahkan adu nyawa demi harta warisan yang Ia wariskan.
Bukan cuma itu, kabar-kabar burung lain yang dipertanyakan kebenerannya melenggang bebas masuk ke dalam masing-masing pikiran kita yang apa daya, kita dari segi aksesnya hanya bisa melihat dan mendengarkan.
Sehingga, ketika informasi itu bernilai opposite atau berlawanan terhadap apa yang diyakini kita. Tentu kita cenderung terbawa emosi sebagai bentuk pembelaannya.
Oleh sebab itu, tulisan kali ini. Gue mau ngangkat tema yang lebih serius tentang apa yang gue lihat saat ini.
Jika dilihat secara seksama hal-hal seperti ini, menurut gue yang paling bertanggung jawab adalah ;
1. Oknum, &
2. Media, Media sosial apalagi..
dan kita yang menjadi korbannya.
Gue nggak ngerti motif oknum melakukan itu apa. Mungkin sama seperti kita, dia juga hasil korban yang kebetulan memiliki akses di media sosial karena memiliki pengikut. Jadi, pas begitu melihat sesuatu yang nggak sesuai dengan keyakinannya dia langsung post dan menyebar begitu saja tanpa data kebenarannya seperti apa.
Atau, mungkin dia senang jika ada sensasi atau sesuatu yang mendadak viral atau ketagihan akan komen-komen yang mendukung pendapatnya. Karena orang cenderung senang dengan tanggapan orang lain kalau kita semua setuju.
Semua pesan-pesan itu mengalir berantai tanpa ujung. ke masing-masing benak yang sependapat dengan mereka.
Kemudian, Media sosial.
Apakah keberadaan mereka adalah dalang semuanya?? Sebenarnya menurut gue nggak. Mereka cuma perantara karena kebiasaan kita yang telah berubah drastis.
Balik ke zaman hhmm, 2010 atau 2012 mungkin dimana media sosial hanya sebatas facebook nyari pertemanan, gabung grup komunitas yang memiliki hobi sama, saling like, saling dukung, main game bareng hingga akhirnya tanpa disadari pola kita telah berubah.
Update status, pesan galau, atau apapun itu yang menunjukan eksistensi kita, sering kita lakukan. Kemudian, era media sosial, dan teknologi mulai mendominasi yang didukung perangkat pintar yang makin kesini makin canggih. Segala informasi mudah dalam genggaman.
Instagram, aplikasi pesan berbasis online lainnya sudah berhasil menggantikan posisi SMS dan posisi fitur lainnya yang sering kita gunakan di saat masa Nokia tipe 6600 masih berjaya. :D
Kebayang nggak?? kemudian sedikit demi sedikit pesan-pesan yang mewakili simbol agama, politik, serta ujaran lain yang bersifat intuitif dan persuasif mulai muncul.
Tak jarang, ada beberapa pesan berisi tentang keyakinan yang dilengkapi dengan gambaran kejadian nyata yang tak sesuai yang akhirnya menimbulkan konflik kepada orang yang melihatnya tanpa dilengkapi sebuah data yang jelas, atau kebenaran yang dipastikan.
Sebagai responnya, saat si penerima informasi yang telah memiliki keyakinan melihat sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang selama ini ia anggap benar. Otak memproyeksikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman, yang kemudian diproyeksikan kembali dalam bentuk amarah, dan kesal.
dan Ia pun menyebarkan pesan itu di akses media yang dia punya karena untuk saat ini hanya itu yang dapat ia lakukan.
Dan begitupun seterusnya, hingga pesan itu akhirnya berbuntut panjang hingga kejadian lain menggantikan posisinya.
"Hebat bukan?? bagaimana kerjanya...."
Cara berpikir manusia ada 2 cara;
Otak merupakan bagian memori yang paling bertanggung jawab bagaimana kita merespon dan bertindak. Diambil dari segala informasi yang telah tersimpan selama kita hidup. Mulai dari pengalaman, prinsip, dan termasuk hal-hal yang disuka dan dibenci.
Sejatinya, cara bekerja otak itu simpel.
Organ-organ sensor penerima informasi seperti mata, telinga, hidung, mulut, dan kulit menstimulus sebuah sinyal yang kemudian di teruskan ke bagian amigdala dimana bagian ini merupakan bagian pengolahan data ingatan akan emosi. Yang disuka, yang dibenci, yang membuat marah, tertawa, nafsu hingga sebal.
Bagian ini juga bisa menghasilkan sebuah pemikiran yang instan dan tidak.
Contoh, saat amigdala mendeteksi suatu hal sebagai ancaman. Amigdala bekerja dengan hippotalamus (bagian penghasil hormon) untuk menghasilkan suatu tindakan instan seperti lari atau bertarung sebagai upaya perlindungan diri.
Baca juga :
9 Hormon Penting Bagi Manusia
Galau atau Nggak Bahagia, Bisa Jadi Kamu Kekurangan Hormon Dopamin dan Serotin
Berbeda saat Amigdala mendeteksi suatu hal sebagai hal yang "biasa", pesannya akan diteruskan menuju Neokorteks yang merupakan bagian Otak besar untuk selanjutnya di olah dengan semua data-data yang ia punya secara rasional dan berlogika sebelum akhirnya berakhir pada sebuah tindakan.
Jadi dapat disimpulkan, dalam mengolah informasi yang diterima. Jika hanya mengikuti suatu saran nafsu atau amarah atau apapun itu yang bersifat emosional. Kita cenderung tidak berpikir secara jernih.
Oleh sebab itu, sebelum memulai tindakan atau melontarkan sebuah pendapat. Berpikirlah secara rasional, berlogika, dan sistematis agar apa yang dilakukan sesuai dengan keadaan yag semestinya.
Apa yang terjadi saat 21 Mei 2019 merupakan sebuah tindakan yang hanya didasari oleh hasil pemikiran nafsu dan amarah semata, akibat beberapa dari kita yang telah menjadi korban provokasi dan tanpa didukung dengan pikiran-pikiran yang rasional.
Akhirnya Ibu Pertiwilah yang tersakiti. Salam Damai. :D
Terimakasih
Iyah kita tahu bahwa Rumah Bumi tercinta Kita Indonesia ini sedang mengalami tensi super tinggi yang banyak sekali melenggang mulai dari informasi-informasi di media sosial atau TV.
Terutama di medsos, yang akhir-akhir banyak sekali informasi yang bernilai menyudutkan, menghakimi, mengdiskreditkan, hingga mengtuding ke sesama.
Gambar hanya ilustrasi dari pixabay.com |
Seperti sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan wajar.
Contoh, pasca pemilu 2019 yang mengakibatkan tragedi 21 Mei 2019 terjadi. Jujur gue sedih jika melihat kita yang sama-sama satu warga negara, sama-sama satu suku dan serumpun harus saling serang demi membela keyakinan masing-masing.
Padahal negara ini masih butuh kepedulian kita sebagai warganya yang tinggal di dalamnya, berlindung disana. Ibarat negara adalah orang tua, dan kita sebagai anaknya. Seberapa sedihnya coba kalau Ia melihat kita yang selalu ribut bahkan adu nyawa demi harta warisan yang Ia wariskan.
Bukan cuma itu, kabar-kabar burung lain yang dipertanyakan kebenerannya melenggang bebas masuk ke dalam masing-masing pikiran kita yang apa daya, kita dari segi aksesnya hanya bisa melihat dan mendengarkan.
Sehingga, ketika informasi itu bernilai opposite atau berlawanan terhadap apa yang diyakini kita. Tentu kita cenderung terbawa emosi sebagai bentuk pembelaannya.
Oleh sebab itu, tulisan kali ini. Gue mau ngangkat tema yang lebih serius tentang apa yang gue lihat saat ini.
Jika dilihat secara seksama hal-hal seperti ini, menurut gue yang paling bertanggung jawab adalah ;
1. Oknum, &
2. Media, Media sosial apalagi..
dan kita yang menjadi korbannya.
Gue nggak ngerti motif oknum melakukan itu apa. Mungkin sama seperti kita, dia juga hasil korban yang kebetulan memiliki akses di media sosial karena memiliki pengikut. Jadi, pas begitu melihat sesuatu yang nggak sesuai dengan keyakinannya dia langsung post dan menyebar begitu saja tanpa data kebenarannya seperti apa.
Atau, mungkin dia senang jika ada sensasi atau sesuatu yang mendadak viral atau ketagihan akan komen-komen yang mendukung pendapatnya. Karena orang cenderung senang dengan tanggapan orang lain kalau kita semua setuju.
Semua pesan-pesan itu mengalir berantai tanpa ujung. ke masing-masing benak yang sependapat dengan mereka.
Kemudian, Media sosial.
Apakah keberadaan mereka adalah dalang semuanya?? Sebenarnya menurut gue nggak. Mereka cuma perantara karena kebiasaan kita yang telah berubah drastis.
Balik ke zaman hhmm, 2010 atau 2012 mungkin dimana media sosial hanya sebatas facebook nyari pertemanan, gabung grup komunitas yang memiliki hobi sama, saling like, saling dukung, main game bareng hingga akhirnya tanpa disadari pola kita telah berubah.
Update status, pesan galau, atau apapun itu yang menunjukan eksistensi kita, sering kita lakukan. Kemudian, era media sosial, dan teknologi mulai mendominasi yang didukung perangkat pintar yang makin kesini makin canggih. Segala informasi mudah dalam genggaman.
Instagram, aplikasi pesan berbasis online lainnya sudah berhasil menggantikan posisi SMS dan posisi fitur lainnya yang sering kita gunakan di saat masa Nokia tipe 6600 masih berjaya. :D
Kebayang nggak?? kemudian sedikit demi sedikit pesan-pesan yang mewakili simbol agama, politik, serta ujaran lain yang bersifat intuitif dan persuasif mulai muncul.
Tak jarang, ada beberapa pesan berisi tentang keyakinan yang dilengkapi dengan gambaran kejadian nyata yang tak sesuai yang akhirnya menimbulkan konflik kepada orang yang melihatnya tanpa dilengkapi sebuah data yang jelas, atau kebenaran yang dipastikan.
Sebagai responnya, saat si penerima informasi yang telah memiliki keyakinan melihat sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang selama ini ia anggap benar. Otak memproyeksikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman, yang kemudian diproyeksikan kembali dalam bentuk amarah, dan kesal.
dan Ia pun menyebarkan pesan itu di akses media yang dia punya karena untuk saat ini hanya itu yang dapat ia lakukan.
Dan begitupun seterusnya, hingga pesan itu akhirnya berbuntut panjang hingga kejadian lain menggantikan posisinya.
"Hebat bukan?? bagaimana kerjanya...."
Cara berpikir manusia ada 2 cara;
Otak merupakan bagian memori yang paling bertanggung jawab bagaimana kita merespon dan bertindak. Diambil dari segala informasi yang telah tersimpan selama kita hidup. Mulai dari pengalaman, prinsip, dan termasuk hal-hal yang disuka dan dibenci.
Sejatinya, cara bekerja otak itu simpel.
Organ-organ sensor penerima informasi seperti mata, telinga, hidung, mulut, dan kulit menstimulus sebuah sinyal yang kemudian di teruskan ke bagian amigdala dimana bagian ini merupakan bagian pengolahan data ingatan akan emosi. Yang disuka, yang dibenci, yang membuat marah, tertawa, nafsu hingga sebal.
Bagian ini juga bisa menghasilkan sebuah pemikiran yang instan dan tidak.
Contoh, saat amigdala mendeteksi suatu hal sebagai ancaman. Amigdala bekerja dengan hippotalamus (bagian penghasil hormon) untuk menghasilkan suatu tindakan instan seperti lari atau bertarung sebagai upaya perlindungan diri.
Baca juga :
9 Hormon Penting Bagi Manusia
Galau atau Nggak Bahagia, Bisa Jadi Kamu Kekurangan Hormon Dopamin dan Serotin
Berbeda saat Amigdala mendeteksi suatu hal sebagai hal yang "biasa", pesannya akan diteruskan menuju Neokorteks yang merupakan bagian Otak besar untuk selanjutnya di olah dengan semua data-data yang ia punya secara rasional dan berlogika sebelum akhirnya berakhir pada sebuah tindakan.
Jadi dapat disimpulkan, dalam mengolah informasi yang diterima. Jika hanya mengikuti suatu saran nafsu atau amarah atau apapun itu yang bersifat emosional. Kita cenderung tidak berpikir secara jernih.
Oleh sebab itu, sebelum memulai tindakan atau melontarkan sebuah pendapat. Berpikirlah secara rasional, berlogika, dan sistematis agar apa yang dilakukan sesuai dengan keadaan yag semestinya.
Apa yang terjadi saat 21 Mei 2019 merupakan sebuah tindakan yang hanya didasari oleh hasil pemikiran nafsu dan amarah semata, akibat beberapa dari kita yang telah menjadi korban provokasi dan tanpa didukung dengan pikiran-pikiran yang rasional.
Akhirnya Ibu Pertiwilah yang tersakiti. Salam Damai. :D
Terimakasih
Daripada infected oleh apa yanga ku baca dan sakit hati atau terluka sendiri
Semoga badai segera berlalu
:'(
Dan sayangnya juga, masih banyak masyarakat yang terpancing untuk ikut-ikutan jadi emosi dan anarkis.
Dimana slogan negara kita yang dulu terkenal sebagai ramah tamah dan bagus toleransinya ..
bahagia yang kita rasakan berbeda dengan bahagia yang dirasakan orang lain. gitu kata seorang teman.
seberapa kekeuhnya kita mau orang lain sependapat dengan kita, tidak akan pernah berhasil karena kita tidak pernah benar2 merasakan hal yang sama. studi pun menemukan bahwa dua orang yang dekat secara emosional tidak benar-benar merasakan rasa yang sama.
belum lagi menyangkut ke amigdala dalam otak dimana bagian ini menyimpan emosi yang terekam dari sejak lahir. meski tahapan pertumbuhan setiap orang sama. namun responnya berbeda sehingga adalah wajar setiap orang memiliki pendapat yang berbeda pula akan satu kebenaran.
tetapi ada beberapa karna sifat fanatis maka informasi yg diterima dan dikelola otak menjadi tidak realistis itulah penyebab hoax gampang tersebar
ada juga yang kurang pengalaman didunia maya saat menerima informasi bisa jg dianggap pembenaran
hoax didunia maya sesuatu yang kompleks hrs mulai di edukasi😊
Lagian gw gak mau membuang tenaga hanya untuk berdebat masalah sebuah perbedaan. So what gitu loh kalo kita berbeda dari yang lain?